nATFEST 2018
nATFEST, an international contemporary dance festival organized by nATANDA Dance Theatre of Sri Lanka will be held from the 10th to the 11th of November 2018 at the British School Auditorium at 7:00 PM.
nATFEST, an international contemporary dance festival organized by nATANDA Dance Theatre of Sri Lanka will be held from the 10th to the 11th of November 2018 at the British School Auditorium at 7:00 PM.
PEREMPUAN Terakhir yang merupakan karya tari kontemporer dari grup Impessa Dance Company asal Padang, Sumatra Barat akan hadir dalam perhelatan Malay Culture Festival 2018 yang digelar di Malay Heritage Centre, Singapura. Tarian dengan durasi 50 menit tersebut merupakan interprestasi terhadap sosok seorang ibu, dalam hal ini bagaimana seorang wanita atau ibu yang harus dijunjung tinggi, tidak hanya melalui ucapan, akan tetapi juga melalui perbuatan.
“Perempuan Terakhir mulai diproduksi pada akhir 2016, sebelumnya karya ini juga pernah ditampilkan pada Kaba Festival,” kata koreografer Impessa Dance Company, Joni Andra di Padang, Sabtu (6/10). Lahirnya karya ini menurut dia berangkat dari fenomena yang kerap terjadi pada masa sekarang, di mana keberadaan seorang ibu mulai jauh dari perhatian anak-anaknya, sementara salah satu wujud kasih sayang kepada ibu adalah melalui perhatian.
Andra menyebutkan, saat ini banyak terjadi di keluarga Indonesia ketika seorang anak sudah dewasa, mereka malah sibuk dengan urusannya sendiri, sehingga secara tidak langsung sosok seorang ibu jadi terabaikan. “Dialah perempuan terakhir yang menyatukan masalah yang ada. Dia memiliki seribu bahkan jutaan kekuataan untuk melindungi kelangsungan masa depan bumi. Berhentilah mengungkap kata sayang tanpa perbuatan. Dia lah ibu dari diri dan ibu dari bumi,” ujarnya.
Keikutsertaannya dalam dalam kegiatan bertaraf internasional ini merupakan kesempatan yang telah lama ditunggu-tunggu dan diharapkan nantinya kesempatan tersebut juga dapat dirasakan oleh seniman-seniman Sumbar lainnya. “Ini adalah kesempatan yang ditunggu-tunggu, mudah-mudahan hal ini akan membuka pintu kesempatan bagi seniman Sumbar yang lain,” ujarnya. Impessa Dance Company sendiri dijadwalkan akan pentas pada tanggal 14 Oktober 2018 yang bertempat di Malay Heritage Centre. Selain Impessa Dance Company, grup lain asal Sumbar yang juga ikut ambil bagian dalam even ini adalah Nan Jombang Dance Company yang akan membawakan tarian berjudul Diantara Sujud.
Nan Jombang Dance Company yang berada di bawah pimpinan koreograger Ery Mefri tersebut merupakan salah satu grup tari kontemporer terkemuka asal Sumbar yang berangkat dari tradisi Minangkabau. (OL-3)
About Malay CultureFest 2018
In conjunction with the ‘Undangan ke Baitullah: Pilgrims’ Stories from the Malay World to Makkah’ special exhibition, this year’s Malay CultureFest will focus on artistic expressions of devotion and faith, found throughout the Nusantara.
With a myriad of activities including newly commissioned performances, talks and workshops, Malay CultureFest 2018 is one cultural extravaganza not to be missed!
RANTAU BERBISIK
ChangMu International Performing Arts Festival 2018 – Seoul, Korea Selatan 24 s/d 30 Agustus 2018.
Adalah drama keluarga berdasarkan seni bela diri dan tradisi rakyat, menggunakan bahasa gaya tarian modern. Dalam masyarakat Minangkabau yang unik sejak usia yang sangat muda, anak laki-laki disurh untuk merantau, untuk menjadi kaya sebelum kembali ke rumah. Industri utama perantau Minangkabau adalah makanan, dan banyak restoran-restoran tersebar di seluruh Indonesia, Malaysia dan Singapura. Beberapa orang Minagkabau telah menjadi kaya, mendirikan jaringan restoran, tetapi sebagian besar terus menjalankan restoran kecil. <Rantau Berbisik> adalah salah satu fasilitas yang kami temukan di suatu tempat di ruang perantauan. Setiap hari dari pagi hingga larut malam, kami menyiapkan makanan dan bermain musik. Menghadirkan emosi dan konflik keluarga yang terpapar dalam lingkungan yang tertekan ini.
Nan Jombang Dance Company
Didirikan pada tahun 1983 oleh Ery Mefri, Nan Jombang Dance adalah perusahaan tari kontemporer terkemuka di Indonesia, Hal ini berakar pada seni bela diri Minangkabau, tari dan tradisi perkusi di Indonesia bagian barat. Kami mencoba melestarikan tradisi lokal dengan praktik modern. Nan Jombang telah melakukan banyak pertunjukkan dan latihan, Ini adalah filosofi inti yang telah membimbing organisasi melalui berbagai pengalaman sulit, termasuk gempa Padang di Padang yang menghancurkan ruang latihan, dan bertekad untuk sabar, disiplin dan integritas yang ketat. Nan Jombang melakukan tour internasional pertamanya di tahun 2004, telah berkembang dengan mantap menjadi grup yang terkenal secara internasional. Nan Jombang adalah anggota dari International Dance Group, mentoring dan mengajar, memainkan peran penting dalam program komunitas di festival lokal dan internasional, dan menghubungkan komunitas lokal dengan seni pertunjukan kontemporer Indonesia.
Koreografer : Ery Mefri
Desain Pencahayaan : Slamet Sofyan
Penari : Angga Mefri, Rio Mefri, Intan Mefri, Ririn Mefri, Gitra Miranda
Produksi : Nan Jombang Dance Company
https://www.changmufestival.com/single-post/2018/07/30/Nan-Jombang-Dance-Rantau-Berbisik
RANTAU BERBISIK
Tarian ini berasal dari orang Minangkabau (Minang) dan juga merupakan penduduk asli di dataran tinggi Sumatera Barat, Indonesia, umumnya dikenal sebagai orang Padang. Memilik budaya matrilineal, properti dan tanah diwariskan dari ibu ke anak, tetapi urusan agama dan politik dipegang oleh laki-laki (bahkan jika beberapa wanita juga memainkan peran penting dalam bidang ini). Orang-orang Padang terutama tersebar di Sumatera Barat, Indonesia dan Semenanjung Malaya. Terinspirasi oleh tradisi Minang yang telah lama berdiri, para pria akan melakukan perjalanan melalui berbagai kepulauan sampai mereka dapat menghasilkan uang dan menghasilkan banyak uang sebelum mereka dapat kembali ke rumah. Merantau selalu menjadi tradisi di Minang, pria muda meninggalkan keluarga dan desa mereka untuk mencari cara untuk mencari nafkah untuk diri mereka sendiri. Karya ini menggabungkan warisan materi dan spiritual dari semua orang Minang, pada saat yang sama, budaya kuno dan kontemporer digabungkan menjadi satu, dan festival tari di Eropa, Australia, Amerika Serikat, Jepang dan kota-kota lain diundang untuk berkeliling dunia. Dengan menanggung kesulitan merantau dari tanah air mereka, mereka telah tumbuh menjadi pria dewasa yang mampu menghadapi kesulitan dan masalah kehidupan masa depan. Selama periode hidup mereka, mereka juga berkontribusi pada esensi budaya penyebaran makanan dari Padang di seluruh Indonesia.
“Terlepas dari di mana Anda berada, Anda harus beradaptasi dengan diri sendiri sampai tempat baru ini menjadi rumah Anda.”
https://www.teclandart.tw/zh/moonlitsea/nan-jombang-dance-company/
The Europalia Arts Festival began in October 2017 in Brussels and is set to run until January 2018 in several countries across Europe, presenting Indonesian arts and culture throughout the region.
As reported by tempo.co, Rantau Berbisik was performed on Monday by six dancers from Padang group Nan Jombang, which is led by Ery Mefri. The performance took place at the Weltmuseum in Vienna.
Built in 1876, the Austrian museum has for the past several years worked together with the Indonesian Embassy in Vienna to host performances and book launches on the history and culture of Indonesia.
The Rantau Berbisik dance incorporates silat (martial arts) movements and is accompanied by signature music, as the dancers hit makeshift instruments, such as plates and glasses.
The performance was attended by Viennese residents, fans of Indonesian culture and arts, as well as invited guests, including academics from Vienna University of Technology (TUW) and University of Music and Performing Arts Vienna. The crowd enthusiastically applauded the performance.
Stephan Taibl, Pencak Silat Association head in Austria, watched the performance with his family and praised the dancers.
“I really understand the movements in the dance as the majority are silat techniques and not easy to do. Their breathing technique is amazing,” Stephan said.
A Min Tjoa, Indonesia-Austria Relations Institute head, also echoed this sentiment.
“I’m sure this kind of contemporary dance performance would be enjoyed by the wider public in Austria. They can certainly perform at larger events in Austria such as the international contemporary dance festival Impulstanz,” Tjoa said.
Indonesian Ambassador to Vienna Darmasjah Djumala explained in his opening remarks at the event that merantau was a well-known Minangkabau tradition. Their motivation is not only economically driven, but also aims to prepare young Minangkabau men to be strong and rich in life experiences.
Each family in Minang prepares their sons to travel by providing them with, among other things, a basic religious foundation, education, and martial arts skills. (liz/kes)
Media Source : http://www.thejakartapost.com/life/2017/12/14/contemporary-minang-dance-praised-in-vienna.html
Tradisi merantau orang Minangkabau (Sumatera Barat) diperkenalkan kepada masyarakat Austria dalam pertunjukan tari “Rantau Berbisik”. Tarian itu dibawakan dengan dinamis oleh enam penari dari Nan Jombang, grup tari asal Padang sebagai bagian dari rangkaian Festival Europalia Indonesia yang berlangsung sejak Oktober 2017 hingga Januari 2018 mendatang di sejumlah negara Uni Eropa.
Informasi itu disampaikan Sekretaris Kedua Fungsi Pensosbud KBRI/PTRI Wina, Wina Retnosari seperti dilansir Antaranews (13/12/2017).
Perlu Millens tahu, yang ditampilkan di Festival Europalia itu bukan grup semenjana atau cengcengpo. Hampir semua yang ditampilkan di berbagai negara Eropa itu grup atau kelompok kesenian tradisional yang punya nama di Indonesia. Salah satunya ya kelompok tari Nan Jombang.
Nan Jombang Dance Company, begitu nama resminya. Ini bukan grup tari kemarin sore karena sudah didirikan pada 1983 oleh Ery Mefri.
Sebelum mengulas Nan Jombang, ada baiknya kita kenali dulu siapa pendirinya. Ery Mefri adalah seorang koreografer tari yang banyak mengolah unsur-unsur tari tradisional Minangkabau. Dia mengawali kariernya bersama Grup Gumarang Sakti pimpinan Gusmiati Suid (asal tahu saja, nama ini juga legendaris dalam tari kontemporer, khususnya yang mengeksplorasi khazanah budaya Minang-Red).
Ery moncer sebagai koreografer yang demen melakukan pencarian ekspresi baru dalam setiap karyanya. Karaya-karyanya tampil di berbagai festival tari dunia, antara lain di Essen, Berlin, Tokyo, Singapura, dan London. Intinya, koreografi Ery sudah berkelas dunia.
Nama Nan Jombang sebagai kelompok tari diambil dari judul karya Ery Mefri: “Nan Jombang”. Bersama Nan Jombang Dance Company ini Ery Mefri memproduksi karya-karya tari modern yang mendasarkan diri pada tradisi Minangkabau. Seperti sudah disebutkan, kelompok ini telah berpentas di berbagai acara seni berskala nasional maupun internasional, antara lain, American Dance Festival di Durham, Carolina Utara dan New York, Amerika Serikat (1994), Contemporary Dance Festival di STSI Padang Panjang (1995).
Kelompok ini juga pernah bikin Forum Kerja Koreografer 3 Negara: Indonesia, Amerika, dan Korea Selatan (2000).Nggak ketinggalan, mereka melakukan pentas keliling Tarian Malam di Singapura, Australia, dan Amerika Serikat (2012).
Pada 2008, Ery Mefri mendapat penghargaan Tuah Sakato dari Gubernur Sumatera Barat sebagai seniman yang total dan mengabdi untuk kemajuan kesenian dan kebudayaan Sumatera Barat.
Ya, apresiasi bagus selalu diberikan untuk tampilan Nan Jombang. Mau bukti?
Yang terbaru, saat tampil di Austria, tarian “Rantau Berbisik” mendapat aplaus dari penonton. Seperti dikutip dari Antaranews 913/12/2017), para penonton memuji penampilan Nan Jombang yang dinilai sangat ekspresif. Begitu pula, pujian luar biasa untuk teknik pembuatan musik secara manual oleh penari yang memukul beberapa perangkat makan berupa gelas dan piring di atas panggung.
Ketua Asosiasi Pencak Silat di Austria, Stephan Taibl, yang menonton bersama keluarganya mengatakan gerakan tari mereka sangat indah. “Saya paham sekali gerakan yang diperagakan sebagian besar merupakan teknik silat dan itu tidak mudah dilakukan. Teknik pernapasan yang digunakan luar biasa,” ujar Stephan Taibl. (EBC/SA)
Koreografi Ery Mefri bersama Nan Jombang:
Sumber:
https://inibaru.id/indimania/kisah-minang-dalam-koreografi-nan-jombang
A high-pitched wail marks the beginning of “Rantau Berbisik,” translated as “Whisperings of Exile.” It’s the sound of pain, but it’s also a clear, ringing one-note aria. This was pain through a filter of restraint and acceptance.
So it goes in this piece by Nan Jombang, an extraordinary dance group based in Padang, Indonesia, on the western coast of Sumatra. The company made its U.S. debut last weekend at Dance Place, the first stop on a national tour as part of a new State Department initiative called Center Stage, which will also bring groups from Haiti and Pakistan to these shores.
Ery Mefri established Nan Jombang in 1983 as an expression of the indigenous Minangkabau culture to which he belongs. Martial arts, body drumming and chanting are age-old traditions there; using simple means and an eye for sharp visual impact, Mefri has woven them into fascinating theater.
“Rantau Berbisik” draws on the melancholy notes of the Minangkabau’s matrilineal tradition. With property transferring to the women, the men must leave home and strike out on their own; many do not return. We see the physical longing and anguish of this in one man’s solo display on a small wooden table. Slowly, as if moving through honey, he unfolded and upended his body in a feat of acrobatics that was never showy, but rather conveyed a heavy heart and pent-up feeling.
This 55-minute long work shifted from passages of engrossing physicality to group percussive performances, with the dancers beating on the table, on ceramic bowls, on the billowy fabric of their trousers stretched taut between their legs. Often, the vigorous footwork, scooping arms and low, crouching stance suggested West African dance.
This work requires patience to watch, and many moments felt slow to the extreme. Despite the beautiful red costumes and intriguing, unfamiliar musical rhythms, the gloom never lifted. Still, there is much to appreciate here, primarily the smooth, liquid quality of movement, the immense upper-body strength that never became a show unto itself, and the five performers’ ability to sustain a mood.
Media Source : https://www.washingtonpost.com/lifestyle/style/nan-jombang-brings-indonesian-dance-to-us/2012/09/23/4597e3ca-05a4-11e2-a10c-fa5a255a9258_story.html?utm_term=.44b2fdcd70d6
Music is my first love, so it shouldn’t be surprising that dance is a close second. Naturally when offered tickets to Fall for Dance, an autumn show nine years running featuring, among others, the work of Sumatran dance company Nan Jombang, the decision wasn’t difficult.
Hailing from Indonesia with a strong, cross-cultural message, Nan Jombang shared the stage with a variety of talented, entertaining dance groups, beginning first with classical ballet. Performed by the American dance company, Ballet West, the opening act of Fall for Dance embodied every little girl’s dream of what a ballerina should be. Accompanied by a bevy of beautiful, delicate yet strong women clad in elegant tutus sharing the same characteristics, the central dancer and her male counterpart wove a classic love story that served as a perfect introduction to Fall for Dance’s multi-cultural evening.
For me, the second performance of the night rivaled the third in terms of quality. Performed by dancers from the Tu Dance company, the second set centered around a woman and her lust for a certain pair of shoes. Choreographed entirely to an a cappella accompaniment, the dancers glided effortlessly across the stage and back to depict the journey of the female dancer and her partner, who played the symbolic part of the salesman. Many audience members will remember this performance for its identifiable theme and comedic undertones, and though these characteristics were both present, it is worth noting that the dancers’ skill, passion and compatibility together did more to enhance the performance than any planned aspect. With a style that is clearly descendent of Alvin Ailey’s school of dance, these two captured the audience for their entire set.
As an absolutely perfect follow-up to Tu Dance’s High Heel Blues, the Nan Jombang troupe did nothing less than mesmerize the entire audience with their unique, powerful and captivating performance of Tarian Malam. Commanding the stage with utter silence followed by intense, breathtaking and rhythmic drumming, the members of Nan Jombang showed talent not only in movement but in vocal expression as well. During the performance, audience members were taken on a roller coasters of sound and movement, following the show from slow, heavy movements of two intimate dancers to the synchronized, chaotic expression of multiple company members. Composed of several style components, Nan Jombang’s interpretive dance showcased each dancer’s strength, skill, dedication and versatility while simultaneously bringing an emotional account of the nation’s history to life.
Rounding out the show in the last act, Russian dancers from Moiseyev’s Dance Company brought audiences back to life with colorful clothing and rambunctious choreography executed perfectly by a collection of over 30 dancers on stage simultaneously. Comparable to a live human, highly talented version of Disneyland’s Epcott Center, Moiseyev’s secured the foundation of the show in multi-cultural expression through movement. In addition to creating a fun, high-energy atmosphere, Moiseyev’s dancers exhibited a finely-polished, well-synced performance , alluding to the classical ballet roots of the company.
While it may not be the ever-popular The Nutcracker, Fall for Dance is certainly making a name for itself over the past decade on the New York City dance scene. At $15 a ticket, it is also one of the most affordable dance performances in the city, and with shows like this, this experience is worth bringing lunch a few days a week.
Media Source : https://newyorksocialstatus.com/2012/10/12/welcome-autumn-and-fall-for-dance/